Kamis, 27 September 2018

Agus dan Ceritanya

Tak dapat disangkali, hampir setiap hari kita akan bertemu orang-orang yang itu-itu saja.
Sebagai guru, saya pun bertemu teman-teman guru dan murid-murid yang juga sama setiap hari.
Yang berbeda hanyalah situasi atau keadaan yang tercipta. Tetapi kadang, keadaannya juga hampir sama. Mengajar, praktikum dan lain sebagainya.

Hari itu, seperti biasanya Agus yang paling terkahir masuk kelas.
Dengan celana seragam birunya yang terlihat semakin gelap karena basah, Agus berjalan cepat menuju kursinya tanpa peduli memberi salam sebelumnya.
Mungkin menghindari hukuman karena sering terlambat. Saya pun tetap terus melanjutkan materi, pura-pura tak melihat. Saya pikir kalau saya harus ceramahi si Agus pagi-pagi, dia pasti akan badmood selama menerima pelajaran.

Agus memang juaranya terlambat. Kalau harus diberi tropi karena terlambat, pasti kamar Agus sudah sesak dipenuhi tropi.
Walau diberi sanksi, besoknya atau beberapa hari berikutnya Agus akan tetap kembali terlambat.


Bel istirahat berbunyi, tanda pelajaran selesai. Saya pun meminta Agus untuk bertemu saya di lab IPA.
Hampir sepuluh menit saya mendengar cerita tentang apa saja kegiatannya di rumah.

"Terus kenapa kamu terlambat?"

"Saya harus bangun pagi pukul 04.00, Bu" mulainya. "Rumah saya jauh, saya harus berjalan kaki hampir empat kilometer. Di rumah tak ada air bersih untuk mandi apalagi di musim kemarau seperti sekarang. Jadi, saya harus mampir mandi ke sungai kemudian lanjut ke sekolah," lanjutnya panjang.

"Setiap hari kamu sarapan?"

"Kalau sempat saya sarapan, Bu."

"Kamu di kasih uang jajan setiap hari?"

"Tidak setiap hari, Bu. Kalau sorenya saya mencari kemiri untuk dijual, saya bisa sisihkan uang jajan saya."

Di kelas, Agus jadi banyak menguap juga melamun. Mungkin karena capek dan lapar.
Tugas-tugas juga jarang ia kerjakan, di rumah pakai pelita katanya.

"Ok. Kamu harus tetap semangat untuk bersekolah, jangan jadikan semua ini alasan. Anggap saja setiap hari kamu olahraga."
Saya jadi bingung harus bilang apa, wajahnya saja pucat, kering.

"Tapi, lain kali kalau masuk kelas ingat beri salam. Walaupun terlambat." Saya tak jadi marah-marah, malah sebaliknya.
Aneh ya, anak-anak yang semangat untuk bersekolah justru di kasih tantangan seperti ini. Ada saja anak-anak orang mampu di luar sana yang difasilitasi lengkap oleh orang tua tapi malah malas untuk sekolah.


Setelah beberapa hari, saya kembali masuk kelas untuk mengecek kehadiran anak-anak wali saya. Agus sudah dua hari sakit.
"Agus itu lucu, Bu. Walau sering terlambat, Kadang dia juga bisa jadi yang paling pertama tiba di sekolah." Lapor ketua kelas.

"Ya sudah. Besok kalau Agus masuk, suruh langsung ke lab ya," pesan saya pada ketua kelas.

Besoknya, Agus kembali bertemu saya di lab.
Ternyata ceritanya masih panjang. Mulai dari tak punya jam dinding di rumah, jadi tak tahu bangun pagi itu jam berapa. Hanya bermodalkan alarm alami, kokokan ayam.
Agus pernah menumpang tinggal di rumah saudaranya yang lain, tapi karena merasa tersiksa terlalu banyak pekerjaan rumahan, Agus akhirnya kembali ke rumah orang tuanya.
Sejak itu, Agus tak pernah mau lagi untuk tinggal menumpang di rumah orang lain.


Jadilah saya membantu memberi jadwal kegiatan harian Agus, agar ia bisa punya waktu belajar dan tidur yang cukup.

"Waktu kita yang atur, Gus. Kamu tidak bisa seenaknya seperti itu pada tubuhmu setiap hari.
Kalau dalam waktu satu bulan ini kamu tidak berubah. Kamu terpaksa harus tinggal di rumah Ibu."

Walaupun terlihat kurang siap, Agus tetap mengangguk setuju.

#komunitasonedayaonepost
#ODOP_6

6 komentar:

Resensi Novel Bekisar Merah

  Perempuan dalam Kungkungan Kenyataan Judul                            : Bekisar Merah Penulis                         : Ahmad Tohari...