Minggu, 30 September 2018

Lapopu Waterfall

Waktu itu, air terjun Lapopu baru saja masuk list tempat wisata alam di kabupaten Sumba Barat.
Sebagai pendatang baru, Lapopu benar-benar bak artis yang jadi incaran semua pecinta wisata.

Saya dan teman-teman pun tidak ketinggalan untuk melakukan trip ke Lapopu.
Setelah tiga minggu gagal, akhirnya sabtu pagi itu kami semua punya waktu untuk bisa pergi bersama.

Pukul 08.00 kami berangkat dari ibu kota kabupaten Sumba Barat menggunakan sepeda motor menuju desa Baliloku kecamatan Wanokaka yang hanya berjarak hampir 30 km dari kota Waikabubak.

Santri, teman kami yang kami tujuk untuk menjadi kompas buat kami bertujuh.
Walaupun terus bertanya sana-sini, Santri beberapa kali menunjuk persimpangan jalan yang salah. Dia juga tidak bisa membaca google map. Teman yang sedikit bingung seperti ini memang bisa jadi hiburan tersendiri sepanjang perjalanan kami menuju Lapopu.

Perjalanan yang harusnya ditempuh cuma satu jam, jadinya beberapa jam.
Harus berhenti untuk bertanya jalan, berhenti untuk mengambil gambar.
Jujur waktu itu, kami masih labil. Piknik hanya jadi ajang untuk bisa sekedar membuat postingan di sosial media, kasarnya hanya untuk pamer.

Semoga tidak ada yang seperti itu disini...hehe

Setelah memasuki desa Baliloku, kami bahkan tak percaya jika akan ada air terjun di dalam hutan sana. Kami harus menunggu orang yang lewat untuk benar-benar yakin dengan jalan yang akan kami lalui. Kami sudah bosan untuk tersesat lagi. Sudah lima pertigaan yang salah kami tuju.
Kami menunggu lima belas menit. Sampai ada seorang gembala lewat.

Tiba di pos penitipan sepeda motor, kami membayar ongkos Rp.5000/ sepeda motor.
Kemudian membayar tiket masuk Rp.5.000/ orang di loket.

Setelah berjalan beberapa menit ditemani petugas yang menemani kami, akhirnya kami tiba juga.
Sambil istirahat merenggangkan otot, kami terus sibuk mengambil gambar.
Otot-otot kami yang lelah dan rasa capek karena nyasar sepanjang jalan tadi terbayar lunas bahkan lebih.
Bagaimana tidak, air terjunnya bertingkat-tingkat seperti tangga, tidak langsung jatuh ke kolam seperti air terjun yang lain.
Menurut data dari petugas, ketinggian air terjun tersebut adalah 90 meter dan jadi air terjun tertinggi di provinsi Nusa Tenggara Timur.

Kami pun akhirnya berenang sepuasnya.

Setelah makan siang. Kami putuskan untuk berjalan menaklukkan ratusan tangga-tangga besar menuju mata air, pusat air terjun Lapopu.
Terlalu rumit memang melihat sumber mata airnya yang muncul dari dalam goa kemudian dengan kemiringan dari puncak, melewati bak tangga-tangga alam untuk jatuh ke kolamnya.
Sungguh air terjun Lapopu ini begitu indah di selimuti hutan yang cukup lebat.


Kemudian, selain sebagai tempat wisata, air terjun lapopu juga dijadikan sebagai sumber PLTMH (Pembangkit Listrik Tenaga Micro Hydro) dengan daya 2 x 800 KW.

Tiga hal yang kami bawa pulang hari itu. Syukur, kepuasan dan kenangan.

Terima kasih di tahun 2015. Mache, Bu'De, Santri, Inna, Erna dan Iron.

Lapopu cantik, Sumbaku mempesona.
Saya sertakan foto-foto kami selama di Lapopu. Semoga anak-anak ODOP terhibur.








Di tahun 2015, kami masih menggunakan kamera 5 MP hehe.
Informasi tentang air terjun Lapopu dan gambar yang jelas bisa ditanya pada om google.

#komunitasonedayonepost
#ODOP_6
#TANTANGAN PEKAN 3






Kamis, 27 September 2018

Agus dan Ceritanya

Tak dapat disangkali, hampir setiap hari kita akan bertemu orang-orang yang itu-itu saja.
Sebagai guru, saya pun bertemu teman-teman guru dan murid-murid yang juga sama setiap hari.
Yang berbeda hanyalah situasi atau keadaan yang tercipta. Tetapi kadang, keadaannya juga hampir sama. Mengajar, praktikum dan lain sebagainya.

Hari itu, seperti biasanya Agus yang paling terkahir masuk kelas.
Dengan celana seragam birunya yang terlihat semakin gelap karena basah, Agus berjalan cepat menuju kursinya tanpa peduli memberi salam sebelumnya.
Mungkin menghindari hukuman karena sering terlambat. Saya pun tetap terus melanjutkan materi, pura-pura tak melihat. Saya pikir kalau saya harus ceramahi si Agus pagi-pagi, dia pasti akan badmood selama menerima pelajaran.

Agus memang juaranya terlambat. Kalau harus diberi tropi karena terlambat, pasti kamar Agus sudah sesak dipenuhi tropi.
Walau diberi sanksi, besoknya atau beberapa hari berikutnya Agus akan tetap kembali terlambat.


Bel istirahat berbunyi, tanda pelajaran selesai. Saya pun meminta Agus untuk bertemu saya di lab IPA.
Hampir sepuluh menit saya mendengar cerita tentang apa saja kegiatannya di rumah.

"Terus kenapa kamu terlambat?"

"Saya harus bangun pagi pukul 04.00, Bu" mulainya. "Rumah saya jauh, saya harus berjalan kaki hampir empat kilometer. Di rumah tak ada air bersih untuk mandi apalagi di musim kemarau seperti sekarang. Jadi, saya harus mampir mandi ke sungai kemudian lanjut ke sekolah," lanjutnya panjang.

"Setiap hari kamu sarapan?"

"Kalau sempat saya sarapan, Bu."

"Kamu di kasih uang jajan setiap hari?"

"Tidak setiap hari, Bu. Kalau sorenya saya mencari kemiri untuk dijual, saya bisa sisihkan uang jajan saya."

Di kelas, Agus jadi banyak menguap juga melamun. Mungkin karena capek dan lapar.
Tugas-tugas juga jarang ia kerjakan, di rumah pakai pelita katanya.

"Ok. Kamu harus tetap semangat untuk bersekolah, jangan jadikan semua ini alasan. Anggap saja setiap hari kamu olahraga."
Saya jadi bingung harus bilang apa, wajahnya saja pucat, kering.

"Tapi, lain kali kalau masuk kelas ingat beri salam. Walaupun terlambat." Saya tak jadi marah-marah, malah sebaliknya.
Aneh ya, anak-anak yang semangat untuk bersekolah justru di kasih tantangan seperti ini. Ada saja anak-anak orang mampu di luar sana yang difasilitasi lengkap oleh orang tua tapi malah malas untuk sekolah.


Setelah beberapa hari, saya kembali masuk kelas untuk mengecek kehadiran anak-anak wali saya. Agus sudah dua hari sakit.
"Agus itu lucu, Bu. Walau sering terlambat, Kadang dia juga bisa jadi yang paling pertama tiba di sekolah." Lapor ketua kelas.

"Ya sudah. Besok kalau Agus masuk, suruh langsung ke lab ya," pesan saya pada ketua kelas.

Besoknya, Agus kembali bertemu saya di lab.
Ternyata ceritanya masih panjang. Mulai dari tak punya jam dinding di rumah, jadi tak tahu bangun pagi itu jam berapa. Hanya bermodalkan alarm alami, kokokan ayam.
Agus pernah menumpang tinggal di rumah saudaranya yang lain, tapi karena merasa tersiksa terlalu banyak pekerjaan rumahan, Agus akhirnya kembali ke rumah orang tuanya.
Sejak itu, Agus tak pernah mau lagi untuk tinggal menumpang di rumah orang lain.


Jadilah saya membantu memberi jadwal kegiatan harian Agus, agar ia bisa punya waktu belajar dan tidur yang cukup.

"Waktu kita yang atur, Gus. Kamu tidak bisa seenaknya seperti itu pada tubuhmu setiap hari.
Kalau dalam waktu satu bulan ini kamu tidak berubah. Kamu terpaksa harus tinggal di rumah Ibu."

Walaupun terlihat kurang siap, Agus tetap mengangguk setuju.

#komunitasonedayaonepost
#ODOP_6

Jumat, 21 September 2018

Laguna Weekuri





Sudah tinggalkan
Tinggalkan saja semua persoalan waktu kita sejenak
Tuk membebaskan pikiran
Dan biarkan..
Biarkan terbang tinggi sampai melayang jauh menembus awan..

Sementara tinggalkan semua aturan yang kadang trlalu mengikat dan tak beralasan teman
Memang, memang benar teman
Kita perlu cooling down dan melonggarkan pakaian

Bebas lepas kutinggalkan saja semua beban dihatiku
Melayang kumelayang jauh
Melayang dan melayang..

Mengikuti lirik lagu, berdelapan kami berapi-api dan semangat menuju Laguna Weekuri.
80 km rasanya cuma sekejap sudah sampai.
Untuk perjalanan yang panjang dan lama memang dibutuhkan teman-teman perjalanan yang gila.
No jaim, no unmood.

Bermodal tanggal merah di hari sabtu, kami pun telah merancanakan perjalanan ini tiga hari sebelumnya. Singkatnya, matang dan terencana.

Pukul 07.00 pagi kami sudah start dari Waikabubak ibu kota kabupaten Sumba Barat dengan sopir yang sudah pacaran lama sama setir mobil pastinya.
Sengaja berangkat pagi biar bisa lebih puas keliling-kelilingnya.

Melewati ibu kota kabupaten Sumba Barat Daya kami berbelok arah menuju kecamatan Kodi kemudian menuju desa Kalena Rongo, kecamatan Kodi Utara lokasi laguna Weekuri.

Melihat birunya air serta pasirnya yang putih membuat kami tak hiraukan lagi aturan stretching sebelum berenang.
Semua kami sibuk dengan versi masing-masing bagaimana cara menikmati air.
Teman saya Anas yang tak bisa berenang, terpaksa menggunakan ban dalam untuk berenang. Sedangkan Ross yang paling pandai berenang, sibuk menunjukkan aksi lompat papan yang tingginya hampir 8 meter dari permukaan air.

Sungguh, pesona laguna Weekuri ini luar biasa. Bahkan setelah makan siang, kami masih kembali berenang.

Sambil mengeringkan badan, kami sibuk mencari sudut-sudut mengambil gambar.
Karena kenangan memang perlu di simpan dalam bentuk dokumentasi.

Setelah puas mengambil gambar, kami berpindah ke pantai Mandorak yang jaraknya tak jauh dari laguna Weekuri. Tidak lupa membayar tiket masuk, kami menuju pantai Mandorak dan semua sibuk mengambil gambar.

Setelah benar-benar puas, kami akhirnya bersiap pulang ke habitat masing-masing.
Tak ketinggalan kami mampir mengisi perut kami yang lapar dengan bakso Mas Amin.

Di perjalanan saya mencari foto-foto yang akan saya posting di instagram saya, sambil tetap memuji kreativitas Tuhan dalam mencipta.

Terima kasih buat satu hari itu.
Rossalin, Anastasia, Artiana, Erna, Vicktor, Jeffry & Aris.

Terpujilah nama Tuhan.

#komunitasonedayonepost
#ODOP_6

Jumat, 14 September 2018

Perjalanan Rasa

Disini aku dan kau yang membuat cerita ini akan seperti apa. Kita berdua menjadi tokoh utama dalam drama.
Peran kita berdua memang sangat berat. Tetapi kita terus berusaha bermain peran. Entah tujuannya apa, kita pun tak tahu.

Tetapi jika ini bukan ujungnya, biarlah skenario Tuhan yang kami perankan.


Kau membanting pintu, aku diam. Kau kasari aku, aku diam. Kau selingkuhi aku, aku diam.
Diamku tak berarti aku tak kuat secara fisik, tapi lebih dari itu. Diamku itulah yang membuat aku dan kau begitu berbeda, aku ingin diamku ini membuat aku lebih mulia dari mu.

Perjalanan rasa dalam waktu yang telah kita lewati bahkan tak merubahmu sedikit pun.
Kadang ada penyesalan dalam diri, kenapa aku bisa sejatuh cinta itu pada mu dulu.

Andaikan apa yang disatukam Tuhan tidak boleh diceraikan manusia kecuali maut bukan menjadi alasan atas pernikahan ini, aku mungkin sudah lama ingin bercerai.
Andai setelah menikah kita bisa saja putus, aku ingin putus seperti orang-orang yang masih berpacaran.

Jahatnya waktu yang tak pernah menyatakan siapa kau sebenarnya sebelum semuanya sampai hari ini.
Sekarang kita berdua seperti dikutuk waktu.
Aku pergi. Kau memilih untuk tetap tinggal. Tapi percuma, percuma kau tetap tinggal jika aku terus diam.

Setiap malam bahkan aku berdoa agar suatu saat nanti diamku ini bisa membunuhmu.

Tetapi, waktu berkata lain.
Rahimku justru menumbuhkan benih darimu disaat aku benar-benar telah muak dengan keadaan selama ini.

Akhirnya ku putuskan bermain drama diatas luka-luka yang telah kau buat.
Aku belajar banyak hal darimu, bagaimana bermain cantik.
Menutup semua kemunafikan dengan segala kebaikan, dengan sampul-sampul drama indah setiap harinya.
Ternyata mudah saja.
Mungkin sebelum menikah, ini juga sampul yang kau pakai.
Rasanya kau dan aku perlahan-lahan tak ada bedanya. Awalnya aku  ingin kau yang berubah, tapi nyatanya sekarang aku yang berubah. Aku telah mulai pandai menulis skenario, merubahnya, atau memutuskan akhirnya akan seperti apa.

Lihat saja nanti, drama-drama ini akan membunuhmu perlahan. Membunuh cintamu.


#komunitasonedayonepost
#ODOP_6

Kamis, 13 September 2018

Counterpain No Pain No Gain

"Hidup selalu menantang. Jatuh lagi, bangkit lagi. Menarikmu hingga batas. Cintai rasa sakit itu, karena dia berharga. Membuatmu besar, mendorongmu jauh. Lebih jauh."

Kata-kata dalam iklan Counterpain no pain no gain itu selalu membuat aku terkadang menjadi lebih semangat, terkadang malu sama diri sendiri, terkadang juga merasa heran.

Kalau lagi senang, pas dengar iklannya pasti makin senang.
Tapi saat lagi 'sakit' terus disuruh "cintai rasa sakitmu" itu kadang buat aku heran.
Apa mungkin kita mampu mencintai rasa sakit kita?
Apalagi jika rasa sakit yang terjadi adalah akibat dari perbuatan kita sebelumnya.

Semua orang pasti pernah mengalami sakit. Entah itu sakit fisik atau pun psikis.

Gagal. Banyak orang gagal, tapi sedikit sekali orang yang gagal kemudian bangkit untuk memulai lagi.

Nadia, pernah gagal. Pernah menjadi hilang rasa percaya dirinya, pernah ingin bunuh diri.
Butuh waktu yang cukup lama bagi Nadia untuk kembali bangkit dan berdiri sampai hari ini.

Nadia yang waktu itu ingin bunuh diri karena tekanan-tekanan hidup yang seolah tak pernah berakhir, hari ini berdiri bangga di podium menggandeng predikat cum laude dengan ipk 4,00.

Mungkin banyak diluar sana orang-orang yang tak pernah tahu susahnya membiayai kuliah sendiri tanpa bantuan orang lain.

Apa saja pekerjaan halal dia kerjakan.
Sebagai teman Nadia, aku tahu benar bagaimana susahnya ia berusaha.
Walau tak banyak yang bisa ku bantu, tapi tak pernah sekalipun aku lupa untuk mendoakan Nadia.

Rasa bosan dan jenuh dalam hidup yang rasanya stagnan membuatnya mencari sisi lain dari dirinya. Mungkin itu hanya alasan awalnya untuk memilih kuliah lagi, tapi pada akhirnya ia mencintai pilihannya.

Sampai hari itu tiba, Nadia memberi kabar bahwa ia akan wisuda.
Aku cuma bisa melihatnya melalui link live streaming yang ia kirim melalui pesan singkatnya.

Terharunya aku pagi itu. Bahagia bukan main. Seolah-olah yang wisuda itu aku.

Ku screenshoot fotonya, ku beri kumis melingkar lalu ku kirim foto itu padanya, "selamat atas gelar magister sainsnya."

Semoga gelar barunya tidak membuat kumisnya benar tumbuh.😊

#komunitasonedayonepost
#ODOP_6




Minggu, 09 September 2018

Ini seperti kampanye


Merupakan kota kecamatan yang tidak begitu ramai dan juga tak padat penduduk, kampung kami begitu tenang dan indah.
sepanjang jalan dipenuhi sawah-sawah yang selalu berubah warna mengikuti musim.
Hampir dikelilingi hutan lindung serta berada di antara lembah, tak dapat disangkali jika malam hari suhu di kampung kami sangat rendah.
Semua tampak baik, seperti tak punya cacat. Alami, bersih tanpa polusi.

Tetapi, tahun-tahun berganti. Semua juga berubah. Orang tua melahirkan generasi-generasi baru, generasi-generasi yang serba instan . Perubahan yang memang seperti tidak terlihat, yang perlahan-lahan tetapi seperti tiba-tiba saja ada.
Dulu tak pernah ada tumpukan sampah, yang ada hanyalah sampah daun dari pohon-pohon di sekitar rumah masing-masing. Tapi sekarang ini, sampah dapat ditemukan dimana-mana. Hutan lindung yang dulunya begitu asri, sekarang sudah jadi tempat pembuangan sampah orang-orang yang tidak bertanggung jawab. Dulu sampahnya tidak seberapa, tapi mereka lupa bahwa satu orang membuka jalan bagi banyak orang. Setiap hari semakin banyak sampah-sampah yang dibuang liar di tengah hutan ataupun diujung jalan kampung kami.
Semua jenis sampah ada disana. Tak tahu siapa pelaku-pelaku yang tidak bertanggung jawab yang jelas-jelas tak punya rasa cinta pada alam. Di kampung kami banyak sarjana, orang-orang yang merantau dari kota-kota besar juga banyak. Ternyata itu tak cukup untuk dijadikan tolak ukur kesadaran mencintai alam.
Semua yang kita lakukan seperti tanpa kesadaran dan pengertian.
Dulu kalau ke pasar belanja sayur pakai keranjang anyaman. Zaman sekarang ke pasar tidak keren kalau tidak pakai kresek.
Dulu kalau belanja ke toko cuma dua bungkus mie, ya dipegang begitu saja. Zaman sekarang biar belanjaannya cuma satu bungkus mie, malu kalau dipegang begitu saja, atau kadang tuan toko merasa kurang sopan terhadap pembeli jika tak diberi kresek.
Bayangkan dalam satu menit dalam satu kampung melakukan hal yang sama, maka berapa banyak sampah yang tertumpuk.
Daripada nantinya repot mengurusi sampah-sampah, mendingan belajar bertanggung jawab terhadap diri sendiri dengan cara membatasi  pemakaian barang-barang instan atau dengan cara lainnya yang bisa mengurangi sampah.

Jadilah generasi bebas sampah.

Semoga kampung saya, Lewa tetap selalu bersih).
(saya seperti lagi kampanye, calon menantu menteri lingkungan hidup haha)

Sabtu, 08 September 2018

Amplop, Gawai dan Metamorfosis

Ini cuma hasil olah pikir dan bincang-bincang bersama Widye. Saudara serahim bukan. Saudara tak serahim, iya. Teman tak terdeskripsikan.

Tentang hari-hari sekarang ini yang dituangkan dalam kata.



Apakah manusia menyadari atau tidak  ada kejadian dalam hidup yang mendefinisikan siapa mereka sebenarnya. Mungkin itu bukanlah suatu  hal yang besar but it was there.

Terkadang dalam hidup, kamu bisa menjadi seperti sebuah amplop berwarna indah yang isinya adalah sebuah misteri. Apakah isimu dipenuhi dengan kebahagian atau bahkan isimu dipenuhi kesedihan. Entah bahagia ataupun tidak tentunya keberadaanmu hanya diketahui saat kau keluar dari dalam amplop tersebut. Saat kau menunjukkan siapa dirimu yang sebenarnya. Menjadi sesuatu yang baik dan berguna ataupun sebaliknya itu ditentukan oleh pilihanmu.

Namun disisi lain dalam dunia modern semua hal serba gawai,  maka keberadaanmu dan isi kehidupanmu tanpa disadari tidak lagi terbungkus mewah dalam sebuah amplop. Kehidupanmu menjadi public consumption yang kehilangan jati diri, terdengar miris tapi itulah kenyataannya saat kau memilih menjadi seorang netizen. Mengumbar hal yang pada akhirnya memancing komentar atau istilah keren "nyinyir" dikalangan netizen , yang tanpa sengaja menjadikanmu objek bullyan dan beranjak ke level   mental down, siapa yang akan disalahkan, netizen yang dikenal "maha benar"? atau keputusanmu yang maha benar menggunakan gawaimu untuk bersosial media? One thing we have to know "we choose what people want to see from us" tentunya resiko dari sebuah pilihan adalah tanggung jawabmu juga.  Pilihan menjadi bijak jauh lebih menguntungkan dari pada menjadi yang maha benar.

Disisi lain keberadaan gawaimu menjadi ajang pencarian jati diri yang haus apresiasi dengan hanya menunjukkan sisi baikmu. Tanpa kau sadari kau  sedang tidak mencari jati diri tapi sesungguhnya kau sedang perlahan-lahan menggerogoti jati diri yang sudah tertanam dalam dirimu.

Sampai pada satu titik jika kau berpikir untuk bermetamorfosis untuk menata kembali jati dirimu. Maka kau harus bersiap untuk melewati proses seperti ulat yang bersedia menghancurkan  jaringanya sendiri sebelum menjadi seekor kupu- kupu.

Yang kau tahu itu bukan hanya tentang waktu...

#Komunitasonedayonepost
#ODOP_6

Kamis, 06 September 2018

G U R U

Masih teringat jelas, bagaimana ketika pertama ditugaskan di desa ini, Bali Ledo. Jauh dari kota kabupaten. Tak ada jaringan listrik PLN. Jalannya, seperti kolam-kolam kecil penuh genangan air sepanjang jalan saat musim hujan.
Sekolahnya tak punya perpustakaan, laboratorium dan fasilitas-fasilitas pendukung lainnya.
Seperti balita, saat itu baru tiga tahun berdiri mungkin wajar saja jika segalanya masih serba kurang.
Tetapi dengan alamnya yang bersih alami dan benar-benar masih jauh dari polusi, serta masyarakat sekitarnya yang juga ramah, membuat keluhan-keluhan saya dan kawan-kawan waktu itu perlahan-lahan menghilang.
Tentang rasa nyaman, sudah teratasi. Saya benar-benar sudah bisa melakukan apa saja seperti di lingkungan rumah sendiri.

Tetapi, masalah beratnya muncul dari dalam kelas ketika berhadapan dengan anak-anak desa yang benar-benar jauh dari informasi.
Waktu itu saya ingat betul materinya tentang perpindahan kalor, saya tanyakan siapa dari anak-anak yang sering memasak. Hampir semua sering memasak. Terus saya tanya lagi, di ujung sutil itu dipasang kayu atau plastik, itu gunanya apa. Tak ada jawaban.
Ternyata tak satu pun dari mereka yang mempunyai sutil di rumah.
Untuk memasak sayur, mereka menggunakan taku (seperti sutil yang ujungnya terbuat dari tempurung kelapa, kemudian dipasang pegangan panjang dari kayu).
Kemudian pernah sekali lagi waktu itu materinya tentang zat aditif pada makanan. Saya tanyakan siapa yang sukanya bakso dan ternyata masih ada beberapa anak yang belum pernah sekalipun makan bakso.

Hanya beberapa anak yang memiliki tv di rumah.
Mereka tak punya handphone, tak punya pc, ke sekolah berjalan kaki berkilo-kilometer.
Banyak hal yang benar-benar baru bagi mereka.

Waktu itu rasanya semua benar-benar keterlaluan. Ingin rasanya pindah sekolah saja.
Saya menceritakan semua hal itu pada beberapa teman, semua justru menyarankan saya untuk lebih kreatif mencari media pembelajaran.
Saya pikir mereka akan menertawai cerita-cerita saya itu, tapi ternyata tidak. Itulah sebenar-benarnya menjadi guru kata mereka.

Jujur satu semester terlewati begitu saja tanpa rasa nikmat. Malah bawaannya jadi malas. Teman-teman saya itu bicaranya gampang. Tapi bagian saya yang melakukan eksekusi ini jadinya stres.
Sampai tiba hari itu di semester dua, seorang ibu (dengan ekspresi sedikit seperti ibu tiri ) mengantar anak gadisnya ke sekolah, mulutnya penuh sirih bercampur
omelan, menarik tangan anaknya dengan sedikit kasar.

Oma pa bani kana ibu, daku beima anagu ngade mege yawa ngia, maka ku pawedeya sakolah (maaf ibu guru, saya tidak mau anak saya bodok seperti saya jadi saya paksa dia harus masuk sekolah).

Tanpa alas kaki, sarung lusuhnya lingkari pinggang kurusnya, tak bisa berbahasa Indonesia.
Rasanya seperti ditampar kejadian waktu itu, kata-kata ibu itu.

Tiba-tiba saja saya merasa malu terhadap diri saya sendiri, berapa banyak orang tua di rumah sana yang mengharapkan anak-anak mereka nanti lebih baik setelah bersekolah. Tetapi saya, setiap hari hanya memikirkan rasa nyaman saya ketika berada di kelas.

Hari itu saya menulis di hati saya, dimana saya ditempatkan, di mana kaki saya berpijak, Tuhan selalu memakai saya untuk berkarya buat Dia.

Saya tidak mengejar lagi keinginan saya untuk menjadi guru di kota karena mencari kenyamanan dan sebagainya. Saya tetap bersyukur menjadi guru di desa.

Saya sadar, keindahan itu dapat kita temukan dimana saja. Kita cuma perlu merubah cara pandang kita terhadap hidup.  

Hari saya menulis ini, sudah hampir dua puluh calon sarjan alumni SMP N 6 Loli dari angkatan pertama dan kedua yang sudah siap diwisudakan.

Listrik sudah masuk sampai ke pelosok, sudah punya perpustakaan dan dalam proses pembangunan laboratorium dan asrama.

Tujuh tahun sudah di sini, makin sayang.




Resensi Novel Bekisar Merah

  Perempuan dalam Kungkungan Kenyataan Judul                            : Bekisar Merah Penulis                         : Ahmad Tohari...