Kamis, 06 September 2018

G U R U

Masih teringat jelas, bagaimana ketika pertama ditugaskan di desa ini, Bali Ledo. Jauh dari kota kabupaten. Tak ada jaringan listrik PLN. Jalannya, seperti kolam-kolam kecil penuh genangan air sepanjang jalan saat musim hujan.
Sekolahnya tak punya perpustakaan, laboratorium dan fasilitas-fasilitas pendukung lainnya.
Seperti balita, saat itu baru tiga tahun berdiri mungkin wajar saja jika segalanya masih serba kurang.
Tetapi dengan alamnya yang bersih alami dan benar-benar masih jauh dari polusi, serta masyarakat sekitarnya yang juga ramah, membuat keluhan-keluhan saya dan kawan-kawan waktu itu perlahan-lahan menghilang.
Tentang rasa nyaman, sudah teratasi. Saya benar-benar sudah bisa melakukan apa saja seperti di lingkungan rumah sendiri.

Tetapi, masalah beratnya muncul dari dalam kelas ketika berhadapan dengan anak-anak desa yang benar-benar jauh dari informasi.
Waktu itu saya ingat betul materinya tentang perpindahan kalor, saya tanyakan siapa dari anak-anak yang sering memasak. Hampir semua sering memasak. Terus saya tanya lagi, di ujung sutil itu dipasang kayu atau plastik, itu gunanya apa. Tak ada jawaban.
Ternyata tak satu pun dari mereka yang mempunyai sutil di rumah.
Untuk memasak sayur, mereka menggunakan taku (seperti sutil yang ujungnya terbuat dari tempurung kelapa, kemudian dipasang pegangan panjang dari kayu).
Kemudian pernah sekali lagi waktu itu materinya tentang zat aditif pada makanan. Saya tanyakan siapa yang sukanya bakso dan ternyata masih ada beberapa anak yang belum pernah sekalipun makan bakso.

Hanya beberapa anak yang memiliki tv di rumah.
Mereka tak punya handphone, tak punya pc, ke sekolah berjalan kaki berkilo-kilometer.
Banyak hal yang benar-benar baru bagi mereka.

Waktu itu rasanya semua benar-benar keterlaluan. Ingin rasanya pindah sekolah saja.
Saya menceritakan semua hal itu pada beberapa teman, semua justru menyarankan saya untuk lebih kreatif mencari media pembelajaran.
Saya pikir mereka akan menertawai cerita-cerita saya itu, tapi ternyata tidak. Itulah sebenar-benarnya menjadi guru kata mereka.

Jujur satu semester terlewati begitu saja tanpa rasa nikmat. Malah bawaannya jadi malas. Teman-teman saya itu bicaranya gampang. Tapi bagian saya yang melakukan eksekusi ini jadinya stres.
Sampai tiba hari itu di semester dua, seorang ibu (dengan ekspresi sedikit seperti ibu tiri ) mengantar anak gadisnya ke sekolah, mulutnya penuh sirih bercampur
omelan, menarik tangan anaknya dengan sedikit kasar.

Oma pa bani kana ibu, daku beima anagu ngade mege yawa ngia, maka ku pawedeya sakolah (maaf ibu guru, saya tidak mau anak saya bodok seperti saya jadi saya paksa dia harus masuk sekolah).

Tanpa alas kaki, sarung lusuhnya lingkari pinggang kurusnya, tak bisa berbahasa Indonesia.
Rasanya seperti ditampar kejadian waktu itu, kata-kata ibu itu.

Tiba-tiba saja saya merasa malu terhadap diri saya sendiri, berapa banyak orang tua di rumah sana yang mengharapkan anak-anak mereka nanti lebih baik setelah bersekolah. Tetapi saya, setiap hari hanya memikirkan rasa nyaman saya ketika berada di kelas.

Hari itu saya menulis di hati saya, dimana saya ditempatkan, di mana kaki saya berpijak, Tuhan selalu memakai saya untuk berkarya buat Dia.

Saya tidak mengejar lagi keinginan saya untuk menjadi guru di kota karena mencari kenyamanan dan sebagainya. Saya tetap bersyukur menjadi guru di desa.

Saya sadar, keindahan itu dapat kita temukan dimana saja. Kita cuma perlu merubah cara pandang kita terhadap hidup.  

Hari saya menulis ini, sudah hampir dua puluh calon sarjan alumni SMP N 6 Loli dari angkatan pertama dan kedua yang sudah siap diwisudakan.

Listrik sudah masuk sampai ke pelosok, sudah punya perpustakaan dan dalam proses pembangunan laboratorium dan asrama.

Tujuh tahun sudah di sini, makin sayang.




4 komentar:

  1. Sutil itu apa kak? 😥 terharu sama kisah kakak.. inginku mampir bersua anak2 bu guru.

    BalasHapus
  2. Hahaha yuk Uni... tukar tempat sama Batu Sangkar..

    BalasHapus
  3. Luar biasa, smg semakin di beri kemudahan dan kelancaran dalam mengajar

    BalasHapus

Resensi Novel Bekisar Merah

  Perempuan dalam Kungkungan Kenyataan Judul                            : Bekisar Merah Penulis                         : Ahmad Tohari...