Kamis, 28 Februari 2019

Tugas Membaca di Komunitas One Day One Post Pilihan Buku ETIKA BUDAYA MARAPU DI SUMBA TIMUR

                            Tentang Buku


             Sebagai orang Sumba tentunya saya sangat bangga dengan kekayaan budaya di tanah kelahiran saya. Sebelumnya saya belum pernah membaca buku lain yang mengkisahkan aliran kepercayaan Marapu.
             Bercerita tentang aliran kepercayaan bukanlah hal yang mudah. Saya membaca buku karya Nggodu Tunggul yang berjudul Etika Budaya Marapu di Sumba Timur ini dan menjadi lebih tahu tentang budaya serta aliran kepercayaan nenek moyang orang Sumba.
            Kepercayaan Marapu adalah kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dalam wujud “Budaya Spiritual” khas Sumba, aliran kepercayaan nenek moyang orang Sumba sebelum masuknya agama-agama modern. Bahkan aliran kepercayaan Marapu ini masih dianut oleh penghuni rumah-rumah adat di kampung-kampung besar di Sumba. Mereka tetap mejalankan dan mempertahankan sistematika dan formulasi yang diajarkan dalam kepercayaan Marapu tentang keyakinan mereka terhadap Tuhan Yang Maha Esa yang disebut dengan berbagai konsep Marapu.
Buku ini padat, sarat pengertian serta mengajar kita generasi muda untuk tetap menghargai dan menghormati aliran kepercayaan Marapu. Tetap hidup berdamai dan tidak menganggap agama kita lebih benar dari aliran kepercayaan orang lain.

#ReadingChallengeOdop
#RCO
#Level3
#Tantangan3

Senin, 18 Februari 2019

Laura dan Mimpinya

                 Laura dan Mimpinya


                      Liputan 6.com

 Namanya Laura, aku sering mengganti namanya dengan nama salah satu merk pembalut wanita yang ada di kios-kios kecil di kampung kami.
          Aku yang tak suka pelajaran bahasa Inggris dan dia yang tak suka pelajaran matematika. Kami jadi teman sebangku dengan misi melumpuhkan pelajaran-pelajaran yang tak kami sukai itu untuk tetap harus mendapat nilai terbaik di kelas. Hari itu, sekolah kami baru saja mendapat bantuan buku-buku baru untuk perpustakaan. Tak tunggu lama, kami pun memberi signal pada pegawai perpustakaan yang masih punya hubungan darah jauh dengan Laura untuk mendapat novel-novel terbaik terlebih dulu sebelum yang lain.
         Jadilah hari itu aku dan Laura mendapat novel remaja yang masih terbungkus dalam sampul plastik, buku yang sama, Dari Jendela SMP karya Mira W.
         Kami sama-sama bukan penggila buku, tapi kami suka mencoba hal-hal yang baru bersama-sama.
Satu minggu kemudian setelah selesai membaca buku itu, kami pun mengembalikan buku itu ke perpus.
Besar nanti aku ingin tinggal di Jakarta, hidup seperti Wulan yang jadi orang kaya sepertinya enak, katanya.
Aku cuma tertawa setengah mengolok. Bagaimana tidak, kami hanya anak-anak kampung, jauh dari kota kabupaten. Sangat-sangat jauh dari ibu kota negara Indonesia.
         Setelah hari itu, semuanya berjalan biasa saja sampai akhirnya kami lulus.
Melanjutkan sekolah di SMA pilihan masing-masing tak menjadi halangan untuk saling memberi kabar. Laura tetap menjadi Laura yang dulu, dia semakin semangat ingin ke Jakarta dan aku pun masih tetap teman yang masih menertawakan keinginannya itu.
          Setiap perkataan adalah doa, mungkin kata-kata itu juga ada benarnya. Benar-benar terjadi pada Laura. Dia jadi perempuan yang semakin giat mewujudkan mimpinya. Ingin ke Jakarta.
          Setelah memperoleh gelar magister sainsnya, mimpinya benar-benar menjadi nyata.
Pindah ke Jakarta dan bekerja.
          Aku sudah jadi anak Jakarta, bunyi pesannya siang itu.
Tahun ini aku siap kuliah lagi, semoga gelar doktor bisa ku peroleh di tahun 2022 nanti. Seoul National University jadi tujuanku, katanya.
Laura si anak desa berhasil mewujudkan mimpinya.
Walaupun tidak mudah, tapi buktinya ia bisa lewati itu semua.

#onedayonepost
#ReadingChallengeOdop
#TugasLevel2
#Level2tantangan2

Kamis, 14 Februari 2019

Biografi B. J. Habibie

         Biografi, yang Tercinta B. J. HABIBIE


Republika.co

Bacharuddin Jusuf Habibi, Rudy (panggilan B. J. Habibie sejak kecil) lahir di Parepare, Sulawesi Selatan pada tanggal 25 Juni 1936, adalah anak ke-4 dari delapan bersaudara dari bapak Alwi Abdul Jalil Habibie dan ibu R. A. Tuti Marini Puspowardojo.
Sesuai sumpah yang telah diucapkan ibunya ketika bapaknya meninggal, Rudy pun harus memenuhi keinginan ibunya untuk kuliah ke luar negeri. Proses yang panjang dan sulit justru membuat Rudy makin gigih untuk sekolah.
        Meninggalkan Parepare dan pindah ke Jawa di usia 15 tahun bukanlah hal yang mudah, tetapi disiplin dan cara hidup B. J. Habibie sejak kecil telah membentuk karakter yang sangat kuat dalam dirinya. Sejak kecil, B. J. Habibie selalu lebih mengutamakan tugas-tugas sekolah sebelum bermain dan mengerjakan hobinya yang lain.
Pindah ke Jawa B. J. Habibie menumpang di rumah keluarganya di Jakarta sambil bersekolah. Tetapi karena tidak betah, ia minta dipindahkan ke Bandung dan dititipkan di rumah Pak Soejoed, Inspektur Pertanian di Jawa Barat yang adalah teman baiknya bapaknya. Dari situ B.J. Habibie pindah ke tempat kost di keluarga Sam. Dari sekolah HBS (Hoogere Burgerschool, adalah pendidikan menengah umum pada zaman Hindia Belanda untuk orang Belanda, Eropa atau elite pribumi dengan bahasa pengantar bahasa Belanda), B. J. Habibie pindah atas keinginnannya sendiri  ke SMP yang saat itu bernama Gouvernment Middlebare School yang sekarang adalah SMP 5 di Jalan Jawa, Bandung. Lalu, ia pindah lagi ke SMAK di Dago yang dulu di kenal dengan nama Lycium.
Di SMA, B.J. Habibie mulai tampak menonjol prestasinya dalam kelas, terutama kesukaannya pada pelajaran eksakta seperti matematika, mekanika dan lain-lain. B. J. Habibie adalah bintang kelas. “Yah, kami tidak mengerti siapa yang bodoh, kalau dalam satu kelas dengan orang yang pintar seperti dia, kita seperti kambing hitam saja.” Demikian kenang Ny. Djumiril yang biasa mengikuti ujian mata pelajaran tertentu bersama B. J. Habibie.
Setelah lulus SMA, B.J. Habibie melanjutkan kuliahnya di ITB. Sejak awal kuliah B. J. Habibie memang sudah sangat tertarik pada bidang pesawat terbang. Tetapi ia praktis hanya 6 bulan menjadi mahasiswa di ITB. Setelah itu mulailah perjalanan pendidikannya ke Aachen, Jerman.
B. J. Habibie harus menerima dan patuh karena sudah jadi amanah ibu bapaknya untuk kuliah ke luar negeri. Walau tak bisa mendapatkan beasiswa, B. J. Habibie harus kuliah menggunakan biaya sendiri, ibunya juga tetap berusaha untuk menyekolahkannya.
Hal inilah yang menjadi beban dan motivasi B. J. Habibie untuk cepat menyelesaikan kuliahnya. Tidak ada waktu terbuang. Semua di ambil dengan cepat. Saat teman-teman lainnya dari Indonesia sibuk untuk bersenang-senang di musim libur panas, B. J. Habibie mengambil waktu untuk tetap mengikuti ujian atau mencari uang untuk membeli buku.
Karena itu, empat tahun kemudian di usia 22 tahun, ia sudah berada pada tingkat akhir sebagai calon insinyur jurusan Aeronautika.
Walau sibuk, B. J. Habibie pun masih senang pesawat aeromodeling seperti ketika masih di Bandung.
Serta tidak lupa melibatkan diri dalam kegiatan sosial dalam dunia kemahasiswaan dan senang mengurus pentas kesenian.
Indonesia di tahun lima puluhan merupakan masa subur partai-partai politik, apalagi setelah pemilu 1955. Semua partai politik berusaha mempengaruhi organisasi mahasiswa yang berfiliasi pada partai politik tertentu. Dalam suasana demikian, B. J. Habibie diangkat menjadi Ketua Perhimpunan Pelajar indonesia di Aachen.
Tahun 1958, tercetuslah suatu gagasan besar, gagasan B. J. Habibie, menyelenggarakan Seminar Pembangunan bagi seluruh mahasiswa yang belajar di Eropa. Berbagai masalah muncul, bahkan sejak gagasan itu muncul dan di puncaknya itu justru tentang masalah dana.
B. J. Habibie harus pontang panting mencari pinjaman dana agar seminar bisa berjalan.
Akhirnya seminar pun berjalan lancar selama lima hari di Hamburg-Barsbuttel dari tanggal 20 sampai 25 Juli 1959. Meskipun selama pembukaan seminar maupun dalam sidang seminar itu B. J. Habibie tidak bisa hadir karena sakit, namun sejarah PPI di Jerman Barat telah mencatat bahwa, “Rudy Habibielah pencetus ide untuk mengadakan seminar Pembangunan Eropa dan terlaksana dengan baik.”
Tetapi sementara seminar berlangsung, B. J. Habibie justru sedang mendekam dalam kamar sebuah klinik di Universitas Bonn, sekarat. Ia mendapat serangan penyakit semacam influensa yang virusnya masuk ke jantung. Ia tiga kali dikembalikan ke kamar mayat dari bangsal biasa, selama 24 jam ia dalam keadaan tidak sadar. Bahkan ia sudah didampingi oleh seorang rohaniawan yang khusus datang membacakan doa sebagaimana orang sakit yang sebentar lagi akan menghembuskan nafasnya yang terakhir.
Sungguh suatu keajaiban, “kemauan keras saya dan perkenan Tuhan menyebabkan masa kritis itu dapat saya lalui dengan baik,” B. J. Habibie akhirnya lolos dari maut dan sebuah bekas luka pada kakinya yang membekas hingga sekarang.
B. J. Habibie juga mendapat kunjungan dari ibu dan kakak iparnya dari Indonesia.
Setelah mendapat gelar insinyurnya pada jurusan konstruksi pesawat terbang di Universitas Technische Hochshule, Aachen  pada tahun 1960. Tahun 1962, terhitung tujuh tahun sudah B. J. Habibie akhirnya kembali ke Indonesia dan kembali bertemu dengan gula jawanya, Hasri Ainun Besari. Adik kelasnya ketika di SLTA, yang kemudian menjadi istrinya.
         Banyak persamaan antara Hasri Ainun Besari dan B. J. Habibie. Hasri Ainun lahir di Semarang, 11 Agustus 1937, juga sebagai anak keempat dari delapan bersaudara. Ainun adalah dokter lulusan Universitas Indonesia.
         Proses yang tidak begitu lama, tiga bulan akhirnya semua acara peminangan dan pernikahan pun berjalan.
Setelah pernikahan akhirnya B. J. Habibie dan Ainun pindah ke Jerman memulai hidup baru mereka.
Penuh dengan suka duka beberapa tahun pertama pernikahan mereka, membuat harus berhemat dalam segala hal. Sampai-sampai B. J. Habibie berjalan kaki dari rumah ke kantor yang jaraknya 15 km.
Tetapi badai pasti berlalu, perlahan tapi pasti. Kehidupan mereka pun berubah menjadi lebih baik, sampai akhirnya benar-benar baik. Perjalanan karirnya perlahan naik dan berkembang.
B. J. Habibie bukan pribadi yang pelit ilmu, ia mampu mempengaruhi banyak orang. Setelah beberapa tahun mempersiapkan diri dan mempersiapkan beberapa orang Indonesia dengan bekerja di Jerman, akhirnya B. J. Habibie pulang ke tanah air dan membangun negeri tercinta seperti janji dalam sajaknya ketika ia sakit,
Terlentang!!!
Djatuh! Perih! Kesal!
Ibu Pertiwi
Engkau pegangan
Dalam perdjalanan
Djanji pusaka dan sakti
Tanah tumpah darahku
Makmur dan sutji
Hanntjur badan
Tetap berdjalan
Djiwa besar dan sutji
Membawa aku,....padamu!!!

         B. J. Habibie kembali ke Indonesia, mematahkan penilaian semua orang tentang ketidak mampuannya dalam membuat pesawat, dan kemudian kita semua tau dia membuktikan segalanya, sampai kemudian ia menjadi presiden ke-3 di Republik tercinta ini.

Sehat selalu serta umur panjang, Bapak B. J. Habibie yang tercinta.

#onedayonepost
#ReadingChallengeOdop
#Tugaslevel2
#Level2tantangan1

Sabtu, 09 Februari 2019

Resensi Buku Tempurung

Resensi Buku : Tempurung



Judul : Tempurung
Penulis         : Oka Rusmini
Penerbit         : Grasindo, PT. Gramedia Widiasarana Indonesia, Jakarta
Tahun Terbit : 2017, cetakan ke 2
Genre : Fiksi
ISBN : 9786023758951
Jumlah halaman : 404 halaman
Dimensi         : 20 x 13,5 x 2,5 cm

Tempurung  adalah sebuah novel tentang hidup para perempuan yang berhadapan dengan tubuhnya, agama, budaya, dan masyarakat. Cerita yang mengisahkan perempuan-perempuan dalam dunia perkawinan masing-masing dengan permasalahan yang berbeda.
      Buku ini benar-benar mengupas tuntas kehidupan perempuan dalam kehidupan berumah tangga. Semua kisah belasan perempuan dalam buku ini hampir berakhir heran menurut akal sehat. Apa mungkin harus seperti itu, sebagai perempuan saya juga tidak punya jawaban untuk itu.
Harapan untuk dicintai secara utuh tanpa syarat adalah harapan semua manusia, terlebih perempuan yang dikodrati sebagai yang dicintai, sudah pasti mengharapkan itu. Tetapi perempuan-perempuan dalam cerita Oka Rusmini ini berakhir dengan matinya harapan-harapan itu.
Buku ini sebaiknya tidak dibaca oleh perempuan-perempuan yang belum menikah, apalagi perempuan-perempuan sakit yang berasal dari keluarga yang broken home atau yang punya pengalaman buruk tentang dunia perkawinan . Selain kisah-kisah yang berat, saya rasa buku ini bisa saja mengubah cara pandang perempuan tentang mulianya perkawinan.
Walau cukup berat, buku ini tidak perlu dijadikan referensi bagi kaum perempuan. Cukup dijadikan cermin, bagaimana sebaiknya menjadi perempuan dan istri. Karena pada kenyataannya diluar sana, banyak rumah tangga yang kehidupannya seperti kisah-kisah dalam buku ini. Tetapi, tidak semua laki-laki juga seperti suami-suami dalam kisah-kisah di buku Oka ini.
Kekurangan dari buku Oka ini adalah, tokoh si ‘aku’ dalam beberapa kisah tidak dijelaskan secara terperinci. Ditambah lagi banyaknya tokoh, membuat pembaca bingung dan harus membolak-balik kembali halaman sebelumnya.
Walau sedikit ngerih, tapi saya suka buku ini, dan berharap banyak kaum lelaki yang juga membaca buku ini supaya dibuatkan pleidoi dari sisi kaum lelaki terhadap kehidupan perkawinan. 😀

#RESENSI
#READINGCHALLENGEODOP
#ONEDAYONEPOST
#TEMPURUNG
#OKARUSMINI

Resensi Novel Bekisar Merah

  Perempuan dalam Kungkungan Kenyataan Judul                            : Bekisar Merah Penulis                         : Ahmad Tohari...