Kamis, 08 November 2018

Karena Stasiun Kereta Malam Itu

 “Lion berdiri di dalam stasiun kereta api…..” Suara Pak Okto semangat menjelaskan soal Efek Doppler. Cicak-cicak di ruangan XII IPA 1 juga mungkin tak bisa tidur siang karena terpaksa harus mendengar soal-soal yang sulit di siang hari.
Rasanya aku ingin bolos saja, tiba-tiba ingin tidur karena bingung membayangkan cerita stasiun kereta api itu.
Iseng ku tulis di halaman belakang buku,

TOPICK OF ‘D DAY
Me: “Kira-kira kalau di rumah apa Pak Okto seseram ini kah?”

Zygot: “Coba saja jadi istrinya seminggu!”

Mr. Bule: “Kalau saya jadi perempuan, saya tidak akan menikah sama pak Okto. Walau di galaksi ini laki-laki hanya Pak Okto. Pasti membosankan. Di rumah segala sesuatunya pakai rumus hahaha.”

Nona Guncang: “WARNING. Jangan lupa beri jedah waktu mengoper bukunya. Rumus Efek Doppler sudah pindah di mata Pak guru. LIAR kayak kuda liar.”

Mr. Bule: “Cie cie….ada yang tersinggung ni idolanya dijadikan topik hari ini.”

Me: “Haha THE END.”

Kami berempat tersenyum kecil sambil melingkari nomer-nomer soal yang dijadikan tugas.
“Ingat tugasnya harus di kumpul besok pagi.” Kata Pak Okto sambil berjalan keluar kelas.

Senangnya kelas telah selesai. Kami pun berhamburan menuju pintu yang terlihat sangat sempit ketika jam pulang tiba.

“Eh nanti sore kita kerja tugasnya di rumahku saja,” kata Dami si Mr. Bule bersemangat.
“Makanya di kelas tu fokus. Jangan cuma sibuk tulis skenario.” Evi si Nona Guncang menghantam punggung Dami dengan tasnya sambil terus berlari.

Tak ada pilihan transportasi, tak ada angkutan umum. Tapi panas jadi tak terasa, dua kilometer kami berjalan kaki pulang ke rumah rasanya dekat. Putih abu-abu.

Entah kenapa kalau pelajaran matematika dan fisika aku jadi seperti monster kelaparan. Ada sayur daun ubi yang ditumbuk lalu di masak pakai santan, ada sambal teri pula. Aduh enaknya, aku jadi makan banyak sekali.

Seperti deret, seperti dua pasangan alamiah yang tak terpisahkan, demikianlah akrabnya kenyang dan kantuk.

Aku menunggu kereta terakhir malam itu. Masing-masing orang sibuk tanpa peduli orang-orang di sekitar mereka.
Ratusan kepala di sini, semua dengan pikiran dan tuntutan keadaan yang berbeda.
Ku lihat seorang bapak tua di ujung stasiun terlihat gelisah. Bangun, duduk terus seperti itu. Di kejar waktu, mungkin ada sesuatu yang sangat ingin ia untuk segera tiba di tempat tujuan.
Bibirnya sibuk menyomel, tapi anak muda di sampingnya justru santai melipat tangan di dada dengan mata tertutup dan headphone di telinga. Bapak tua tetap saja terus menyomel.

Sudah pukul 18.30. Beberapa menit lagi keretanya pasti datang, aku juga sudah mulai bosan menunggu.
Ku buka ebook untuk mengisi waktu. Ilustrasi-ilustrasi di ebook cukup menghilangkan kebosanan pikirku.

 “Kamu mau ke mana Lin?” Tanya Pak Okto mengagetkan.
“Eh e..Bapak kok ada di sini?” Aku balik bertanya karena kaget.
“Bapak sekeluarga mau liburan. Tapi tadi terlambat kereta sore.” Kata Pak Okto menjelaskan.
“Bapak juga mau ke Jakarta?” Aku lanjut bertanya.
Pak Okto mengangguk tanda ya. “Bagaimana kuliah kamu?”
“Baik Pak.” Jawabku singkat.
“Ok syukurlah. Kalau begitu Bapak kembali ke sana dulu ya.” Kata Pak Okto sambil berdiri.
“Iya Pak.” Aku mengangguk setengah tertunduk sopan sambil tersenyum.

Kok bisa Pak Okto ada di sini jauh-jauh dari Sumba. Liburan? Keren juga bisa bawah keluarga liburan ke Jakarta. Ah…Bisa saja, Pak Okto kan kudanya banyak, harga dua ekor kuda kalau dijual sudah lumayan bikin sesak rekening, pikirku.

Keretanya datang, aku langsung membereskan ranselku.

Jakarta.
Sejak kecil aku selalu bermimpi liburan ke Jakarta, aku bosan setiap hari cuma melihat gunung-gunung, sawah, dan padang. Aku juga ingin melihat gedung-gedung yang tinggi, merasakan naik kereta api seperti ini.
Aku bahkan tak percaya sudah di sini.

Aku akan liburan. Temanku sudah menunggu.

Kami berencana untuk mengunjungi beberapa tempat sekaligus.
Di usia-usia pucuk seperti ini sebaiknya isi hidup dengan rekreasi juga biar tidak mudah stress, notice temanku waktu itu. Jadi, mantaplah aku akan berkunjung ke tempatnya sebelum berkeliling ke kota-kota lain.

Ternyata untuk berlibur tidak seribet seperti yang ku bayangkan sebelumnya. Terlalu direncanakan justru kadang kurang berhasil. Dadakan seperti ini rasanya lebih seru.
My anaconda don’t, my anaconda don’t, my anaconda don’t want none unless you got buns, hun.
Ringtone di handphoneku terus berdering. Cepat ku geser tombol hijau untuk menjawab panggilan masuk, tapi ringtonenya terus saja berdering. Ku geser lagi tombol hijaunya tapi tetap tak bisa. Lima kali tetap tak bisa.
Tiba-tiba ibu datang menghantamku dengan bantal.
“Hei bangun, sudah gelap.” Kata ibu berteriak.

Sontak aku kaget terbangun.
“Sekarang jam berapa Bu?”
“Setengah enam sore!” Jawab ibu kasar.

Aduhh….tadi kan ada janjian belajar kelompok. aku menyomel sambil terus berputar dalam rumah.
“Ibu kok tidak bangunkan aku tadi?” Aku terus menyomel tak jelas.
“Handphone kau terus berdering dari tadi, mungkin sudah seratus kali,” balas ibu balik marah.

Ku lihat tujuh panggilan tak terjawab, Mr. Bule.
Pasti besok akan repot, pikirku. Akhirnya ku putuskan untuk mengerjakan tugasnya sendiri.
Memang butuh perjuangan berdarah-darah untuk menyelesaikan soal-soal ini. Tapi setidaknya besok aku tak akan dihukum karena tugasnya beres.

Pagi itu aku bertemu Pak Okto di lorong kelas. Dalam hati aku tertawa setengah mati. Bisa-bisanya aku mimpi Pak Okto di siang bolong. Bertemu di Jakarta pula.
Aku senang mimpinya ke Jakarta, tapi tidak mau kalau ada Pak Okto di sana. Bosan, di dunia nyata ada Pak Okto, dalam mimpi juga ada Pak Okto. Betapa sempitnya dunia, pemainnya cuma itu-itu saja.

Kembali ke kelas aku menceritakan mimpiku kemarin.
“Ternyata kalau di luar sekolah, Pak Okto terlihat lebih muda gaes.” Ceritaku semangat sambil tertawa.
“Tapi itu kan cuma mimpi. Biasanya juga di rumah Pak Okto tetap pakai celana kain kok bukan jeans.” Mr. Bule menyelah tanda-tanda kegantengannya disaingi.
“Tapi yang pasti, dalam mimpi tu Pak Okto keren. Jeans biru, kemeja kotak-kotak. Jauhlah dari penampilannya setiap hari kalau ke sekolah.” Kataku tegas mengakhiri bincang-bincang pagi kami berempat tepat saat bel pelajaran pertama di mulai.

Karena kekurangan guru, pelajaran matematika juga dibawakan oleh Pak Okto.
Jadilah kami bertemu Pak Okto lagi pagi itu, tiga kali empat puluh lima menit. Lumayan berat dan butuh kosentrasi ekstra.
Setelah dua kali empat puluh lima menit berlalu, Mr. Bule mulai bosan. Dia memulai TOPICK OF D DAY.
Ku lihat ujung pulpennya sibuk menari di atas kertas halaman terakhir bukunya.
TOPICK OF D DAY
Mr. Blue: Pagi yang cerah, secerah hatiku yang baru kembali berlibur dari Jakarta bersama Pak guru.

Zygot: Speechless.

Me: THE END. FOCUS ONLY.

Dalam hati aku berjanji tidak akan ada lagi TOPICK OF D DAY buat Pak Okto. Dalam mimpi itu ia baik sekali, ramah dan menyenangkan. Aku tak akan mengkhianatinya lagi.


Especially for my classmates, bangku ke tiga kolom paling kanan, bangku ke tiga kolom ke dua dari kanan. Berempat kita yang paling jahil. Tuhan memberkati dimanapun berada.

#komunitasonedayonepost
#ODOP_6
#Fiksi
#Tantangan 1



7 komentar:

  1. The story was so long that it made me sleepy quickly because i was so serious about reading it.😀😁

    BalasHapus
  2. Really ???
    Saya juga ngantuk pas tulis itu. Tidak mngerti mau tulis apa. Aku Lebay (lemes bray)

    BalasHapus
  3. Namanya Zyzilia Goti jadi Zygot kan. Hahaha

    BalasHapus
  4. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  5. Kata Om Kasino, "Gile lu, Ndro!"
    alias keren =D
    Baru sempat BW di halaman Mbk Lisa.
    Like it dech.

    follback my blog:
    https://dloverheruwidayanto.blogspot.co.id

    BalasHapus
  6. Makasih bang Heru udah mampir...

    Siap follback bang ☺

    BalasHapus

Resensi Novel Bekisar Merah

  Perempuan dalam Kungkungan Kenyataan Judul                            : Bekisar Merah Penulis                         : Ahmad Tohari...