PULANG – TERE LIYE
Jika setiap manusia memiliki lima emosi, yaitu bahagia, sedih, jijik, dan kemarahan, aku hanya memiliki empat emosi. Aku tidak punya rasa takut (Bujang, Pulang hal.1)
Bujang seperti anak kampung pada umumnya. Hidup di pedalaman Sumatera, bersama kedua orang tuanya. Selain tidak mengecap bagaimana indahnya dunia sekolah, Bujang pun dilarang keras oleh bapaknya untuk belajar ilmu agama. Mungkin bapaknya terluka karena pernah ditolak dan dihina oleh keluarga mamaknya si Bujang saat melamarnya.
Percuma belajar ilmu agama, percuma menjadi baik, pikirnya. Setelah berusaha keras berbalik dari jalan yang gelap, dari tukang jagal. Toh, pada akhirnya keluarga calon mertuanya tetap menganggapnya kotor. Karena itu ia tak percaya jika Bujang juga harus belajar agama tetapi bapaknya dulunya adalah tukang jagal.
Masa depan setiap orang pasti berbeda. Tidak ditentukan oleh masa lalunya atau oleh masa lalu orang tuanya. Setiap anak mempunyai masa depannya sendiri. Demikianlah Bujang. Ia membuktikan itu.
Perjalanan Bujang dimulai saat ia berusia 15 tahun. Masih terlalu kecil untuk merantau jauh meninggalkan ibu-bapaknya, apalagi tanpa modal pendidikan dan pengalaman yang cukup.
Tauke mengajaknya ikut ke kota karena melihat potensi yang ada dalam dirinya. Melalui jejak pendapat kedua orang tuanya, akhirnya ibunya mengiyakan kepergiannya.
Berjanjilah kau akan menjaga perutmu dari semua itu, Bujang. Agar besok lusa, jika hitam seluruh hidupmu, hitam seluruh hatimu, kau tetap punya satu titik putih, dan semoga itu berguna memanggilmu pulang. Pesan ibunya itu yang selalu dipegang teguh olehnya. Menjauhkan diri dari babi dan arak.
Perjalanan Bujang pun dimulai. Tiba di kota besar, Bujang banyak melewati proses-proses hidup yang tidak mudah. Belajar sambil bekerja bagi keluarga Tong. Bujang akhirnya bersekolah, bahkan sampai mengambil master. Karena kecerdasannya, semua begitu mudah dan cepat bagi Bujang.
Perjalanan hidup Bujang yang menjalani dua sisi kehidupannya. Menjadi tukang pukul, dan menjadi manusia yang begitu ramah dan baik ketika bersama teman-temannya di kampus. Dua sisi, gelap dan terang. Perjalanan hidup Bujang yang dikemas begitu apik dalam cerita ini, bagaimana perjalanan pekerjaannya dari pekerjaan haram menuju pekerjaan halal.
Mamak,Bujang pulang hari ini. Tidak ke pangkuanmu, tidak lagi mencium tanganmu. Anakmu pulang ke samping pusaramu, bersimpuh penuh kerinduan.
Mamak, Bujang pulang hari ini. Terima kasih banyak atas didikanmu, walau Mamak harus menangis setiap kali melihat Bapak melecut punggungku dengan rotan. Terima kasih banyak atas nasihat dan pesanmu.
Mamak, Bujang pulang hari ini. Tidak hanya pulang bersimpuh di pusaramu, tapi juga telah pulang kepada panggilan Tuhan. Sungguh, sejauh apa pun kehidupan menyesatkan, segelap apa pun hitamnya jalan yang ku tempuh, Tuhan selalu memanggil kami untuk pulang. Anakmu telah pulang.
Setelah dua puluh tahun, akhirnya Bujang mengunjungi pusara bapak dan ibunya.
Bujang merasa telah kembali ke jalan Tuhan, pulang kepada jalan yang benar, pulang kepada Tuhan, pulang kepada rumahnya yang sesungguhnya. Itulah inti cerita dalam buku ini.
Maknanya juga sama, kita hidup dan berpetualang di dunia. Tapi, sejauh apa pun kita pergi, selalu ada ruang kosong dalam hati kita yang hanya dapat di isi oleh Tuhan, ruang yang hanya ditempati olehNya, yang selalu memanggil kita pulang.
#Tantanganreviewbuku
#TereLiye_Pulang
#ODOP6
#Komunitasonedayonepost
#KelasFiksi
Ini novel yang terbaru setelah pergi ya kak?
BalasHapusTau ya ini novel 2015. Kalau pergi sy belum punya. Biar pulang sj dulu nanti baru pergi haha
HapusMenarik kak novelnya. Tapi sedih juga akhirnya kak 😢
BalasHapusSenang liat bunda Lily mampir ke blog sy hehe
HapusNovel karya tere liye memang selalu seru ya... 😊
BalasHapusPulang aku punya tapi belum aku baca, aku justru sudah baca yang Pergi Mbak
BalasHapusjadi pengen baca
BalasHapusBuku ini sudah jd wishlistku sejak lama. Belum kebaca juga.
BalasHapusBaru pernah baca sinopsisnya pas di toko buku, belum sempat beli untuk diri sendiri hmmm
BalasHapus