Minggu, 13 Maret 2022

Perjalanan Pisah-Temu Rasus dan Srintil dalam Trilogi Ronggeng Dukuh Paruk (Sebuah Resensi)

 

Perjalanan Pisah-Temu Rasus dan Srintil dalam Trilogi Ronggeng Dukuh Paruk

(Sebuah Resensi)

 

Judul                            : Ronggeng Dukuh Paruk

Penulis                         : Ahmad Tohari

Penerbit                       : Gramedia Pustaka Utama, Jakarta

Tahun Terbit                : 2003 (edisi trilogi)

Genre                           : Fiksi

ISBN                            : 9789792277289

Jumlah halaman           : 408 halaman

 

 Gambar dapurimajinasi.com

 

Saya membuat resensi ini bukan sebagai tugas sekolah atau kepetingan lainnya, tiada lain hanyalah sebagai bahan pengingat saat tua nanti 😊 Jadi mohon maaf jika resensinya tidak sesuai standar sebuah resensi.

Buku ini berkisah banyak hal. Makna yang bisa diperoleh pun juga banyak. Walaupun makna dan tujuan penulisan yang sebenarnya diketahui oleh penulis itu sendiri. Buku Ronggeng Dukuh Paruk ini adalah tiga buah buku yang kemudian disatukan menjadi sebuah karya trilogi oleh penulis asal Banyumas bernama Ahmad Tohari. Penulis sendiri adalah penulis yang sudah menulis banyak novel dan cerpen, dimana kehidupan pedesaan dan kemiskinan adalah ciri khas dari hampir semua karyanya.

            Dengan latar tempat sebuah pedukuhan di pinggiran kota (entahlah apakah pedukuhan ini benar ada atau tidak), sebuah pedukuhan yang dipaparkan penuh kemiskinan, kebodohan, dan masih sangat memegang kukuh budaya yang ditanamkan leluhur, yang semuanya dapat kita lihat dari awal hingga akhir cerita.

            Walaupun menitik beratkan pada perjalanan kisah cinta Srintil dan Rasus sejak remaja, novel ini juga memuat banyak hal lainnya, yakni tentang budaya penghormatan kepada leluhur (Ki Secamenggala) sebagai orang yang sangat dihormati di pedukuhan itu, adanya ronggeng sebagai ikon dukuh Paruk dan bagaimana proses seorang perempuan menjadi ronggeng serta apa saja tugas ronggeng sepanjang ia masih menjadi ronggeng, selain itu buku ini juga memuat soal politik di tahun 1960-an (komunis).

             Ronggeng dukuh Paruk sendiri bisa diibaratkan jiwa pedukuhan itu sendiri. Setelah waktu yang lama pedukuhan itu berdiri tanpa seorang ronggeng, diceritakan bahwa pedukuhan itu seperti pedukuhan yang mati. Sampai akhirnya seorang perempuan berusia 11 tahun dimasuki indang ronggeng dan dipersiapkan untuk menjadi ronggeng. Jadi bisa dibayangkan kehadiran ronggeng dalam dukuh Paruk bisa diibaratkan seperti orang yang kembali memiliki muka setelah bertahun-tahun ketiadaannya.  

            Cerita dalam novel ini bermula dari bagaimana Rasus dan dua temannya melihat Srintil ronggeng. Ketika itu Rasus menyukai Srintil karena ia merasa seperti melihat ibunya (yang juga adalah seorang ronggeng dulunya) dalam diri Srintil. Namun, rasa suka Rasus terpaksa harus perlahan hilang karena sebenarnya ia tak ingin Srintil memiliki nasib yang sama seperti ibunya.

            Selain perjalanan pisah-temu Srintil dan Rasus yang cukup menggemaskan dalam sepanjang novel ini. Perjalanan Srintil sebagai seorang ronggeng juga yang seperti grafik parabola, hidupnya naik kemudian turun lagi. Menjadi ronggeng membuat Srintil memiliki banyak emas. Namun, hidup tidak selalu di atas. Setelah menjadi tahanan politik, Srintil berhenti menjadi ronggeng, ia ingin menjadi perempuan pada umumnya yang memiliki sebuah keluarga. Ketidak jelasan hubungannya dengan Rasus membuat Srintil membuka hati kepada seorang laki-laki bernama Bajus yang ‘lemah’ yang ingin memperalat Srintil kepada bosnya. Perlakuan yang diterima Srintil itu disaat ia sungguh sedang rapuh, membuat menjadi tidak waras. Ia terpaksa harus dipasung. Dan Rasus yang kembali ke pedukuhan itu dan mendapati Srintil dalam keadaan seperti itu, akhirnya memilih untuk membawa Srintil ke rumah sakit jiwa. Di akhir cerita, kita dapati akhir dari temu-pisah Rasus dan Srintil, bagaimana Rasus akhirnya mengakui kepada petugas rumah sakit bahwa Srintil adalah calon istrinya.

            Perjalanan Srintil dan Rasus dalam novel ini mengajarkan kita untuk tidak membuang waktu. Kesempatan tidak datang dua kali. Sedangkan perjalanan Rasus dari menjadi anak pedukuhan dan kembali pulang ke dukuh Paruk mengajarkan kita bahwa ibu kita yang sesungguhnya adalah negeri kita, Rasus menggambarkan seseorang yang mencintai tanah air.

            Kelebihan novel ini adalah pemaparan latar tempat, waktu, dan penokohan sangat jelas dan kuat. Penggambaran sebuah pedukuhan membawa kita berada dan hidup dalam keadaan pedukuhan itu di tahun 1960-an, bagaimana orang-orang di dalamnya yang kelaparan, miskin dan bodoh.

Jujur saja, setelah membaca novel ini, butuh waktu hampir seminggu bagi saya untuk bisa move on. Entah kenapa, kesannya begitu dalam dan sedikit sulit untuk dideskripsikan dengan kata-kata. Jadi, saran saya, untuk bisa merasakannya bagaimana sensasinya, silahkan membaca bukunya sendiri.

            Kekurangan novel ini hanyalah penggunaan kata-kata yang sedikit ‘panas’ dalam beberapa potongan adegan. Seperti dalam menceritakan proses malam bukak klambu bagi seorang ronggeng.

            Tapi secara keseluruhan, novel ini sangat bagus untuk dibaca. Apalagi bagi penikmat buku-buku berbau lokalitas daerah, buku ini sangat direkomendasikan.

Diakhir kata, selamat membaca buku trilogi Ronggeng Dukuh Paruk serta karya-karya Ahmad Tohari yang lainnya, yang sudah pasti semuanya keren abis.

            Sekian resensi saya, lebih kurangnya harap tetap diberi senyum manis. Salam.

 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Resensi Novel Bekisar Merah

  Perempuan dalam Kungkungan Kenyataan Judul                            : Bekisar Merah Penulis                         : Ahmad Tohari...